Kisruh di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut. Polemik pemberhentian 57 pegawai KPK belum selesai, kini muncul lagi isu penggunaan atribut organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di gedung KPK. HTI merupakan organisasi yang telah dilarang di Indonesia.
Mantan pegawai pengamanan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Iwan Ismail menjelaskan soal penemuan bendera yang disebut sebagai simbol organisasi HTI. Menurut Iwan, bendera itu ia temukan ketika patroli di lantai 10 Gedung Merah Putih KPK pada Februari 2019. Ia sempat menulis surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, pimpinan KPK, dan Ketua Wadah Pegawai.
Dalam surat tertanggal 29 September 2021 itu, Ismail menuturkan kronologi penemuan bendera yang ia duga sebagai simbol HTI hingga pemecatan pada Desember 2019. "Saya keliling untuk kontrol ruangan di malam hari. Lalu saya melihat bendera hitam putih di beberapa meja kerja pegawai KPK di lantai 10 Gedung Merah Putih," ujar Ismail kepada , Senin (4/10/2021). "Saya ambil foto, namun saya tidak terlalu menghiraukan, mungkin ini hanya oknum pegawai yang mungkin sebatas simpatisan, mungkin besok lusa juga hilang atau dicabut lagi," ucap dia.
Kemudian, Ismail menuturkan, terjadi demonstrasi di KPK dengan isu "Taliban" pada Jumat, 20 September 2019. Saat memeriksa keamanan di lantai 10 setelah peristiwa unjuk rasa, ia mengaku masih menemukan bendera berwarna hitam putih terpasang di meja kerja yang sama. "Lalu saya ambil foto kembali untuk dijadikan bahan laporan dengan asumsi bahwa bendera inilah yang menjadi gaduh KPK Taliban," ujar dia.
Ismail berniat melaporkan perihal penemuan bendera itu ke pimpinan dua hari setelahnya atau Senin. Dalam selang waktu tersebut, ia sempat berkonsultasi dengan teman temannya di grup aplikasi WhatsApp Banser Kabupaten Bandung mengenai penemuan bendera. Ia menduga bendera itu yang menjadi pemicu demonstrasi dengan isu "KPK Taliban".
"Namun, tanpa saya sadari (foto) bendera itu viral di media sosial, selang dua hari ketika saya libur dan hari senin saya masuk kerja langsung ada panggilan untuk menghadap pengawas internal KPK," ungkap Ismail. Ia pun menghadap pengawas internal untuk melapor dan menjelaskan peristiwa pada Jumat malam. Namun, Ismail mengaku diperiksa seharian hingga pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP).
"Saya merasa malah menjadi tersangka atas viralnya bendera hitam putih di media sosial. Maka, saya utarakan semua keterangan sesuai dengan pertanyaan pertanyaan yang disampaikan," ucap dia. Menurut Ismail, pihak pemeriksa internal begitu gencar memberikan pertanyaan ketika mengetahui latar belakang dirinya sebagai anggota Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser). Ia menuturkan, pemeriksa internal mengambil ponselnya sebagai barang bukti.
Kemudian, pihak pemeriksa juga mengambil screenshoot percakapan di grup WhatsApp, termasuk data pengurus mulai dari pusat hingga pimpinan anak cabang. Pada Senin 21 Oktober 2019, Ismail kembali dipanggil untuk agenda musyawarah. Pihak KPK, kata Ismail, menerangkan bahwa perbuatannya termasuk pelanggaran kode etik dan merupakan pelanggaran berat.
"Katanya hanya ada satu solusi, apakah mau dibawa ke ranah sidang kode etik dengan menghadirkan saksi yang meringankan, baik orang yang memviralkan foto bendera HTI, keterangan tim ahli dari GP Ansor dan bisa jadi dari PBNU mengenai bendera HTI," kata dia. "Atau pilihan lainnya langsung diberhentikan secara tidak hormat," ucap Ismail. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana berkomitmen untuk melakukan langkah tegas guna mencegah aparatur sipil negara (ASN) dari paham radikalisme.
Langkah tegas tersebut tertuang dalam Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN tentang Larangan bagi ASN untuk Berafiliasi dengan dan/atau Mendukung Organisasi Terlarang dan/atau Organisasi Kemasyarakatan yang Dicabut Status Badan Hukumnya. Penerbitan SE Bersama No. 02/2021 dan No. 2/SE/I/2021 yang ditandatangani pada 25 Januari 2021 ini dimaksudkan sebagai pedoman dan panduan bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) mengenai larangan, pencegahan, serta tindakan terhadap ASN yang berafiliasi/mendukung organisasi terlarang atau ormas tanpa dasar hukum. Dalam SE tersebut terdapat ketentuan mengenai langkah langkah pelarangan, pencegahan, penindakan, serta dasar hukum penjatuhan hukuman disiplin bagi ASN yang terlibat.
Mantan pegawai Fungsional KPK di Biro Humas, Tata Khoiriyah blak blakan membantah bendera HTI yang menjadi kontroversi milik satu di antara penyidik KPK yang tak lolos TWK. Diungkap Tata, bendera yang diasumsikan berlambang HTI adalah milik jaksa yang ditugaskan Kejaksaan Agung di KPK. “Bendera tersebut berada di meja dari seorang jaksa, dan jaksa tersebut bukan bagian dari 57+ yang disingkirkan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi,” kata Tata Khoiriyah dikutip dari keterangannya untuk publik, Senin (4/10/2021).
Tata menuturkan, jaksa tersebut adalah ASN yang dipekerjakan di KPK dari kementerian atau lembaga pemerintah. “Sehingga dalam proses alih status pegawai KPK kemarin tidak mengikuti TWK yang kontroversial. Kan statusnya sudah ASN dong. Pemilik meja bukan pegawai independen KPK yang proses rekruitmennya dilakukan oleh KPK secara mandiri,” ujarnya. Dalam informasi yang diterimanya, Tata menuturkan Jaksa pemilik bendera yang diasumsikan HTI diperiksa melalui proses persidangan etik Dewan pertimbangan pegawai (DPP) dengan memanggil saksi ahli dari kemenag. Selain itu, lanjut Tata, Jaksa tersebut juga diperiksa oleh instansi asalnya, Kejaksaan Agung.
“Informasi yang saya dapatkan, saksi ahli yang diundang adalah tim ahli dari Kemenag RI. Pemilihan tersebut tentu mempertimbangkan posisi perwakilan bisa jadi jembatan yang netral untuk masukan para Dewan Pertimbangan Pegawai,” kata Tata. “Penjelasan saksi ahli menyimpulkan bahwa bendera tersebut bukan bendera HTI.” Atas dasar itu, Tata menilai penuduhan Taliban itu tidak bisa menjadi pembenaran bahwa 57 lebih pegawai KPK pantas diberhentikan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi.
“Karena faktanya di dalam 57+ pegawai KPK tersebut ada 6 orang nasrani (salah satunya adalah pendiri Oikumene KPK), ada budhis, ada hindu, dan ada sebagain besar nahdliyyin seperti saya contohnya,” ujar Tata. Dalam penjelasannya, Tata mengaku sedih dengan adanya narasi Taliban di KPK yang bahkan muncul dan beredar hingga di kalangan nahdliyyin. Untuk itu, Tata merasa punya tanggung jawab moral untuk menjelaskan agar nahdliyyin tidak menjadi korban dari berita bohong atau hoaks. Sebelumnya, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan bendera yang terpasang di salah satu ruang kerja Gedung Merah Putih itu tidak terkait dengan HTI.
Menurut Ali, setelah foto tersebar, tim KPK langsung memeriksa beberapa saksi, bukti, dan keterangan lain yang mendukung. “Sehingga, disimpulkan bahwa yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar (bohong) dan menyesatkan ke pihak eksternal,” ujar Ali melalui keterangan tertulis, Jumat (1/10/2021). “Hal tersebut kemudian menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK,” ucap dia.
Perbuatan itu, kata Ali, termasuk kategori pelanggaran berat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 huruf s Perkom Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK. Menurut Ali, penyebaran foto bendera tersebut telah melanggar nilai integritas dan profesionalisme dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif serta harmonis. Ia mengatakan, pegawai yang memasang bendera tersebut terbukti tidak memiliki afiliasi dengan organisasi terlarang. Selain itu, tidak terdapat peraturan yang melarang.
“Namun, KPK mengingatkan seluruh insan komisi, demi menjaga kerukunan umat beragama, insan KPK harus menghindari penggunaan atribut masing masing agama di lingkungan kerja KPK kecuali yang dijadikan sarana ibadah,” ucap dia. Sementara itu, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menaruh bendera yang mirip dengan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di meja kerja Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung (Kejagung). "Bahwa atas polemik bendera tersebut, patut diduga jaksa yang bertugas di KPK pembawa atau penyimpan bendera tersebut patut diduga telah melanggar kode etik jaksa dan diduga melanggar disiplin PNS sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman lewat keterangan tertulis, Senin (4/10/2021) seperti diberitakan sebelumnya.
MAKI meminta Jamwas Kejagung melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan berdasarkan kode etik jaksa, PP 53/2010 tentang Disiplin PNS, Sumpah Jabatan, UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI dan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku lainnya. "Meskipun dugaan jaksa yang sedang bertugas di KPK, namun Jamwas Kejagung tetap berwenang melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran etik jaksa di mana pun bertugas," ujar Boyamin.